Oleh : Akmal Latodjo
Dari sekian banyak kita dalam menapaki problematika hidup,
sering
diperhadapakan pada satu keadaan yang menuntut kita untuk bisa
menentukan pilihan. Dan perlu kita ketahui, bahwa dalam setiap pilihan
pasti ada resiko yang mengerucut pada sebuah pengorbanan entah dalam
bentuk seperti apa.
Sebuah
kejadian nyata yang mungkin ini sering kita temui dalam keseharian
kita, seorang gadis usia belia, tamatan SMA di desa saya, sebut saja
“pria”. Terpaksa harus menjalani hidup berumah tangga dengan seorang
lelaki yang usianya tidak jauh berbeda dengannya itu. Keinginan yang
begitu besar dalam meraih sebuah cita – cita, kini lenyap, yang tersisa
tinggalah bekas memar di sekujur tubuh akibat pukulan dari sang suami
yang tiap malamnya pulang dalam keadaan mabuk. Hari terus berganti,
seolah kita hidup dalam mimpi usiapun tak terasa terus bertambah tua,
namun keadaan tersebut masih saja terus terulang. setiap kali saya puang
di desa, selau saja saya temui “pria” duduk menyendiri dengan air mata
yang tiada henti – hentinya mengalir dari matanya. Seorang gadis
cantik,lugu dan taat beribadah itu, kini telah berubah 70% dari yang ku
kenal dulu, dia kini hidup terbelenggu serta tak mendapatkan kebebasan
dan kebahagiaan seperti yang dia harapkan sebelumnya. Air mata itu tak
pernah berhenti mengalir selama kami bercerita. Izajah SMA yang ia
dapatkan tak lebih dari selembar kertas yang menjadi bahan makanan tikus
di almari. “pria” kini tengah jauh dari orang tuanya, dia hanya bisa
berharap semoga Allah SWT menerangi hati suaminya dan memaafkan segala
bentuk perbuatannya.
kesabaran
seorang gadis cantik bernama “pria” (nama samaran) itu kini tengah
diuji oleh sang pemberi hidup yang mengetahui segala sesuatu.!?! Dia
berpegang teguh pada prinsipnya itu. Bahawa “memaafkan itu adalah
memberi sedikit ruang pada rasa benci” karena hanya dengan begitu, kita
dapat dengan segera melupakan kesalahan orang lain. Dan bukankah dengan
cepat melupakan kesalahan / kekhilafan orang lain itu adalah berkah.!?!
Sejahat apapun itu, dia adalah suamiku dan sudah sepatutnya bagiku
untuk menunaikan kewajibanku sebagai seorang istri. Sejak perbincangan
itu sayapun tak pernah bertemu dengan “pria” lagi, kabarnya mereka
pindah sebulan yang lalu. Semoga kesabaran seorang “pria”, bisa
membuahkan hasil sebagaimana yang ia harapkaan. Amin…!?!
Comments
Post a Comment